Aortic Healthwork Indonesia > Practical Recommendation
Membangun Touchpoints Infrastructure untuk Domestic Medical Tourism
Team : Aortic Healthwork Indonesia
Selasa, 26 Agustus 2025
Team : Aortic Healthwork Indonesia
Selasa, 26 Agustus 2025
Indonesia punya modal besar untuk menjadi destinasi wisata medis domestik maupun regional. Bukan karena jumlah rumah sakit dan dokter yang semakin bertambah, tetapi karena masyarakat kita kini memiliki aspirasi baru yaitu ingin sehat sambil tetap menikmati perjalanan. Aspirasi ini muncul seiring dengan transformasi gaya hidup dan meningkatnya daya beli masyarakat kelas menengah yang menurut data Badan Pusat Statistik telah tumbuh hingga lebih dari 52 juta jiwa pada tahun 2023. Pertumbuhan kelas menengah inilah yang menjadi salah satu pendorong meningkatnya permintaan layanan kesehatan yang tidak hanya berkualitas, tetapi juga menawarkan pengalaman tambahan berupa kenyamanan dan rekreasi.
Dari sisi infrastruktur, Indonesia telah mencatat kemajuan yang signifikan. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa pada tahun 2024 terdapat lebih dari 3.200 rumah sakit dengan distribusi yang mulai relatif merata di kota-kota besar. Sebagian di antaranya bahkan telah mengantongi akreditasi internasional seperti Joint Commission International (JCI), yang menjadi salah satu indikator global mutu layanan rumah sakit. Fakta ini menegaskan bahwa Indonesia tidak hanya siap memenuhi kebutuhan pasien domestik, tetapi juga memiliki daya tarik bagi wisatawan medis yang mencari layanan berkualitas global.
Budaya juga memainkan peran penting dalam membentuk daya tarik medical tourism. Indonesia dikenal dengan keramahan dan nilai hospitality yang melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Nilai budaya seperti gotong royong, tepo seliro (tenggang rasa) dan kehangatan interpersonal yang ditunjukkan dalam interaksi sehari-hari, menciptakan suasana emosional yang mendukung proses penyembuhan. Pasien tidak hanya merasakan pelayanan klinis, tetapi juga sentuhan kemanusiaan yang membuat pengalaman mereka lebih bermakna. Dalam bidang domestic medical tourism, faktor budaya ini menjembatani perbedaan persepsi antara layanan kesehatan yang kaku dan formal dengan kebutuhan pasien akan rasa tenang dan nyaman.
Selain itu, fakta menarik yang perlu dicatat adalah meningkatnya angka perjalanan pasien Indonesia ke luar negeri. Menurut laporan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, setiap tahun diperkirakan lebih dari 600.000 orang Indonesia melakukan perjalanan ke Malaysia, Singapura, dan Thailand untuk mendapatkan layanan rumah sakit. Arus keluar ini tidak hanya menunjukkan adanya kebutuhan yang belum sepenuhnya terjawab di dalam negeri, tetapi juga membuka peluang besar untuk membangun ekosistem domestic medical tourism yang mampu memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap layanan kesehatan nasional.
Namun, kebanyakan rumah sakit masih memandang layanan hanya sebatas membangun unit unggulan, kamar operasi yang modern atau ruang rawat inap dengan standar premium. Padahal, untuk membangun medical tourism domestik, kita harus menggeser cara pandang dari clinical space menuju experience ecosystem. Pasien akan memulai perjalanannya dari Google search, WhatsApp inquiry atau Instagram feed. Dari titik itu, mereka bergerak melalui bandara, transportasi darat, hotel, hingga akhirnya masuk ke rumah sakit. Semua titik sentuh tersebut adalah bagian dari touchpoints infrastructure.
Touchpoints infrastructure memiliki dua wajah yang sama-sama penting namun berbeda peran. Visible infrastructure merepresentasikan semua hal yang mudah dilihat dan segera dirasakan pasien, membentuk kesan pertama yang menentukan kualitas pengalaman. Signage di bandara, misalnya, merupakan simbol kesiapan sebuah kota atau provinsi dalam menerima pasien dari luar daerah. Kejelasan informasi, ketersediaan staf informasi yang terlatih, hingga fasilitas transportasi khusus pasien dari bandara ke rumah sakit adalah elemen yang menciptakan rasa aman sejak langkah pertama pasien memasuki kota tujuan. Kehadiran medical lounge di bandara atau stasiun besar bahkan menjadi standar baru yang ideal untuk domestic medical tourism yang terhubung dengan liaison officer rumah sakit, yang memastikan pasien memperoleh pendampingan sejak awal.
Keseluruhan elemen visible infrastructure pada akhirnya membentuk first impression terhadap layanan rumah sakit di suatu daerah. Kesan pertama inilah yang sering kali menentukan tingkat kepercayaan pasien terhadap kualitas layanan berikutnya. Dalam konteks domestik, persaingan bukan hanya dengan negara tetangga, melainkan antar-kota besar di Indonesia sendiri. Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Denpasar dan Medan berlomba untuk menampilkan wajah pelayanan kesehatan yang bukan hanya unggul secara klinis, tetapi juga ramah, cepat dan relevan dengan identitas budaya masing-masing daerah.
Jika visible infrastructure adalah permukaan yang terlihat dan langsung membentuk kesan awal, maka invisible infrastructure adalah lapisan terdalam yang menentukan kualitas perjalanan pasien dalam kerangka domestic medical tourism. Lapisan ini tidak selalu tampak oleh mata, tetapi menjadi penentu apakah perjalanan seorang pasien dari Makassar ke Jakarta dari Pontianak ke Yogyakarta atau dari Jayapura ke Surabaya berlangsung lancar atau penuh hambatan.
Salah satu aspek utama invisible infrastructure adalah sistem digital yang mengintegrasikan rujukan antar-daerah. Electronic Medical Record (EMR) yang kompatibel antar rumah sakit memungkinkan pasien membawa riwayat medis dari rumah sakit asal di daerah ke rumah sakit rujukan di kota besar tanpa perlu mengulang pemeriksaan dasar yang sama. Integrasi semacam ini tidak hanya menghemat biaya dan waktu, tetapi juga memberikan rasa nyaman secara finansial. Selain integrasi EMR, database penerjemah bahasa juga berperan penting dalam konteks domestik. Indonesia adalah negara dengan keragaman bahasa daerah yang luas. Pasien lansia dari Papua atau Nusa Tenggara Timur, misalnya, sering menghadapi hambatan komunikasi ketika berobat di Jakarta atau Surabaya. Kehadiran penerjemah yang memahami dialek lokal menjadi bagian dari invisible infrastructure yang mempermudah komunikasi klinis maupun non-klinis. Kekuatan invisible infrastructure sesungguhnya terletak pada kemampuannya untuk menciptakan pengalaman yang seamless. Pasien yang merasa bahwa segala sesuatunya telah dipersiapkan dengan baik akan mengembangkan rasa percaya, dan rasa percaya inilah yang menjadi fondasi reputasi domestic medical tourism. Dengan demikian, investasi pada invisible infrastructure sama pentingnya dengan pembangunan fasilitas fisik.
Hubungan antara visible dan invisible infrastructure tidak dapat dipandang sebagai dua entitas terpisah, melainkan sebagai jaringan yang saling melengkapi. Visible infrastructure memberikan keyakinan visual bahwa sebuah destinasi medis memiliki kesiapan, sedangkan invisible infrastructure memastikan janji kesiapan tersebut benar-benar terwujud dalam praktik. Dengan memahami interaksi visible dan invisible infrastructure, pembangunan touchpoints untuk domestic medical tourism tidak lagi diarahkan hanya pada penciptaan fasilitas, tetapi pada pembentukan ekosistem layanan. Inilah yang membedakan Indonesia di mata pasiennya sendiri. Budaya keramahan, kekayaan lokal serta nilai gotong royong dapat dituangkan dalam lapisan visible infrastructure, sementara kecanggihan teknologi digital dan tata kelola lintas organisasi diwujudkan melalui invisible infrastructure.
Pendekatan semacam ini menegaskan bahwa domestic medical tourism tidak hanya berbicara tentang daya saing klinis, tetapi juga tentang tata kelola sistem kesehatan yang mampu menjawab kebutuhan pasien lintas daerah. Dengan kata lain, membangun touchpoints infrastructure berarti membangun kepercayaan publik terhadap kemampuan layanan kesehatan dalam negeri. Kepercayaan inilah yang menjadi fondasi keberlanjutan sistem, dan sekaligus pintu masuk menuju reputasi Indonesia sebagai bangsa yang sehat, mandiri dan berdaya saing.