Aortic Healthwork Indonesia > Practical Recommendation
Bagaimana Sebaiknya Hospital CEO Mendistribusikan Strategi Pertumbuhan di Level Operasional
Team : Aortic Healthwork Indonesia
Senin, 25 Agustus 2025
Team : Aortic Healthwork Indonesia
Senin, 25 Agustus 2025
Pertumbuhan organisasi rumah sakit pada hakikatnya tidak hanya lahir dari perumusan strategi, melainkan dari kemampuan manajerial untuk mendistribusikan strategi tersebut hingga ke dalam detail operasional sehari-hari. Dalam kerangka manajemen strategi rumah sakit, formulasi strategi memang menjadi domain utama manajemen puncak, tetapi keberlanjutan organisasi sangat ditentukan oleh kapasitas internal untuk menjadikan strategi tersebut sebagai perilaku institusional yang melekat pada seluruh aktor dalam organisasi rumah sakit.
Seorang Chief Executive Officer (CEO) rumah sakit dalam hal ini tidak dapat dipandang hanya sebagai pengambil keputusan strategis tunggal, melainkan sebagai figur sentral yang bertugas menjembatani dialektika antara visi makro dengan tindakan mikro. Seorang CEO adalah pengendali ritme organisasi yang memastikan bahwa strategi yang diformulasikan di level direksi dapat diterjemahkan menjadi pola perilaku yang konsisten di level operasional. Tanpa peran orkestrasi manajerial ini, strategi pertumbuhan akan terjebak dalam paradoks kognitif, yakni idealisme di level konseptual yang terputus dari realitas operasional.
Dalam literatur ekonomi kelembagaan, kondisi ini sering digambarkan melalui kerangka principal-agent problem. Prinsipal dalam hal ini manajemen puncak atau dewan direksi merumuskan sasaran strategis yang bersifat makro seperti ekspansi pasar, efisiensi pembiayaan atau diferensiasi layanan. Namun, agen yang mencakup dokter, perawat, staf administrasi, hingga kepala unit menjalankan fungsi mereka dengan orientasi, insentif dan keterbatasan yang sering kali berbeda. Ketidakselarasan kepentingan ini menyebabkan gagasan besar yang lahir di dari keputusan direksi tidak menemukan konsistensi dalam pelaksanaan.
Kesenjangan ini kemudian menimbulkan fenomena yang dikenal sebagai strategy execution gap. Dalam industri rumah sakit, execution gap tidak jarang muncul dalam bentuk dualisme logika kerja. Di satu sisi, rumah sakit mendeklarasikan strategi pertumbuhan melalui pengembangan pusat unggulan atau peningkatan kinerja finansial, namun di sisi lain praktik operasional sehari-hari tetap berjalan dengan pola lama. Akibatnya, strategi berhenti sebagai retorika dokumen, sementara lini operasional bekerja dengan logikanya sendiri yang sering kali berorientasi pada pemenuhan rutinitas. Di titik ini, peran CEO dituntut untuk merumuskan mekanisme penyelarasan (alignment mechanisms) yang mampu memperkecil jarak antara kerangka strategis dan tindakan operasional. Penyelarasan tersebut mencakup tiga dimensi yaitu struktur, budaya dan insentif.
Dari sisi struktur, CEO perlu memastikan bahwa desain organisasi memungkinkan strategi mengalir hingga ke level terendah, melalui sistem cascading target, matriks kinerja dan jalur komunikasi yang real time. Dari sisi budaya, CEO berperan sebagai sensegiver yang membangun narasi bersama sehingga staf memahami mengapa suatu strategi penting bagi masa depan rumah sakit. Sedangkan dari sisi insentif, CEO harus mampu merancang skema penghargaan dan pengakuan yang selaras dengan tujuan pertumbuhan, sehingga setiap agen memiliki motivasi yang konkret untuk melaksanakan strategi.
Lebih jauh lagi, tantangan principal-agent dalam dunia rumah sakit sering diperparah oleh karakteristik profesi yang memiliki otonomi tinggi. Dokter spesialis dan subspesialis, misalnya, secara historis memegang kendali kuat atas operasional klinis, sehingga strategi yang datang dari manajemen sering dipersepsikan sebagai instruksi birokratis yang mengganggu independensi profesi. Di sinilah CEO perlu mengadopsi pendekatan yang bersifat mikrokolaboratif, bukan instruktif. Dengan menjadikan dokter dan tenaga kesehatan sebagai co-owners dari strategi sehingga kesenjangan eksekusi dapat dipersempit dan strategi pertumbuhan memperoleh legitimasi klinis yang diperlukan.
Jika ditarik ke dalam konteks Indonesia, rumah sakit sebenarnya menghadapi ekosistem yang sarat dengan disharmoni regulasi, struktur pembiayaan serta ekspektasi sosial yang tinggi. Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menjadi ilustrasi paling nyata mengenai bagaimana strategi pertumbuhan tidak bisa dilepaskan dari tekanan eksternal. JKN menghadirkan tantangan berupa tarif klaim yang relatif rendah dibandingkan dengan biaya riil pelayanan, keterlambatan pembayaran klaim serta tuntutan standar mutu yang terus meningkat. Tekanan biaya ini memaksa rumah sakit, baik swasta maupun publik, untuk menemukan bentuk strategi pertumbuhan yang berorientasi ganda, di satu sisi tetap menjaga keberlanjutan finansial dan di sisi lain mempertahankan bahkan meningkatkan mutu layanan yang diterima pasien.
Kondisi demikian menegaskan bahwa strategi pertumbuhan tidak dapat didefinisikan secara sempit sebagai ekspansi kapasitas atau peningkatan pendapatan. Pertumbuhan justru harus dipahami dalam kerangka sustainable competitiveness, yaitu kemampuan rumah sakit untuk tetap relevan, kompetitif dan dipercaya publik dalam jangka panjang. Maka, distribusi strategi ke level operasional menjadi syarat mutlak, karena tanpa keterlibatan nyata tenaga medis, keperawatan, dan unit-unit pendukung lain, visi pertumbuhan akan berhenti pada tataran retorika.
Distribusi strategi pertumbuhan yang efektif dapat dianalogikan sebagai proses translasi dari makro ke mikro. Dalam tataran makro, target pertumbuhan mungkin diukur dengan indikator keuangan seperti kenaikan pendapatan atau penguatan arus kas. Namun, dalam praktik operasional, hal ini harus dimaknai dalam indikator yang konkret dan terukur misalnya peningkatan utilisasi ruang rawat, percepatan proses klaim asuransi, peningkatan kepatuhan terhadap clinical pathway atau penurunan waktu tunggu pelayanan diagnostik. Proses translasi ini menuntut keterampilan manajerial yang tinggi, karena bahasa finansial harus dijembatani dengan bahasa pelayanan. Dengan demikian, pertumbuhan tidak lagi dilihat sebagai upaya memperbesar angka di laporan keuangan semata, tetapi sebagai perbaikan pada setiap titik patient journey.
Dalam konteks tersebut, peran CEO tidak cukup hanya berperan sebagai orang yang merumuskan arah pertumbuhan, melainkan juga sebagai translator yang mampu mengartikulasikan strategi ke dalam bahasa yang dimengerti oleh seluruh karyawan. Narasi tidak boleh berhenti pada laporan tahunan, presentasi direksi atau rapat koordinasi, melainkan harus menjadi bagian dari komunikasi internal yang berulang, konsisten dan membentuk pola pikir kolektif. Narasi ini harus bersifat sensemaking, yaitu memberikan makna atas perubahan yang sedang berlangsung, sehingga seluruh lini organisasi memahami bahwa strategi bukan sekadar instruksi dari atas, melainkan kebutuhan mendesak untuk kelangsungan hidup rumah sakit di masa depan.
Lebih jauh lagi, keberhasilan distribusi strategi menuntut investasi pada pembangunan kapabilitas. Banyak strategi pertumbuhan gagal bukan karena konsepnya lemah, tetapi karena organisasi tidak memiliki kapasitas untuk mengimplementasikannya. Oleh karena itu, program penguatan middle management serta pemanfaatan teknologi digital harus menjadi bagian dari strategi. Misalnya, jika strategi pertumbuhan berfokus pada peningkatan patient experience, maka staf frontliner perlu dibekali penggunaan digital patient engagement tools serta keterampilan resolusi konflik dengan pasien dan keluarga. Tanpa kapabilitas tersebut, strategi pertumbuhan hanya akan menghasilkan slogan.
Selain komunikasi dan kapabilitas, distribusi strategi juga memerlukan legitimasi. Organisasi pada dasarnya cenderung skeptis terhadap perubahan yang tidak menunjukkan hasil konkret. Oleh karena itu, penciptaan keberhasilan awal atau quick wins menjadi sangat penting. Keberhasilan kecil seperti penurunan waktu tunggu di IGD, perbaikan skor kepuasan pasien rawat jalan atau percepatan klaim JKN yang lebih transparan akan membangun social proof internal. Bukti nyata semacam ini memperkuat keyakinan staf bahwa strategi memang memberikan dampak positif, sekaligus menekan resistensi terhadap perubahan. Legitimasi inilah yang kemudian memperkuat kohesi organisasi dalam melaksanakan agenda pertumbuhan jangka panjang.
Dengan demikian, distribusi strategi pertumbuhan rumah sakit tidak dapat dipandang sebagai proses linier dari manajemen puncak ke aktor operasional melainkan dipahami sebagai siklus interaktif yang melibatkan komunikasi, akuntabilitas dan kapabilitas di mana strategi secara terus-menerus diinterpretasikan, diuji dan dimaknai ulang oleh berbagai aktor organisasi. Dalam kerangka perubahan, proses ini dapat disebut sebagai transformasi strategi menjadi disiplin operasional. Hanya dengan demikian rumah sakit dapat memastikan bahwa pertumbuhan tidak berhenti sebagai wacana, melainkan menjadi realitas yang berkelanjutan, kredibel dan berdampak langsung pada konsumen yang dilayani.