Aortic Healthwork Indonesia > Practical Recommendation
Priority and Participatory Planning dalam Manajemen Perencanaan Rumah Sakit
Team : Aortic Healthwork Indonesia
Senin, 24 November 2025
Team : Aortic Healthwork Indonesia
Senin, 24 November 2025
Dalam pelayanan di rumah sakit, sering kali ditemukan berbagai dampak akibat ketidaksinkronan dalam proses perencanaan. Ketidaksinkronan ini dapat terjadi di berbagai level, mulai dari manajemen puncak hingga departemen pelayanan atau instalasi. Akibatnya, rumah sakit kerap menghadapi kondisi di mana rencana strategi yang disusun oleh direksi tidak sejalan dengan operasional di tingkat unit. Misalnya, manajemen menetapkan prioritas peningkatan kenyamanan pasien dan pengunjung melalui penyediaan lahan parkir yang lebih luas dan tertata. Namun pada saat yang sama, bagian keuangan tidak memiliki proyeksi dan komparasi terhadap rencana pembiayaan untuk proyek tersebut, sementara bagian sarana dan prasarana belum melakukan kajian kelayakan lahan atau analisis kebutuhan yang sesuai dengan kapasitas rumah sakit. Akibatnya, kebijakan yang semula dimaksudkan untuk meningkatkan kenyamanan terhadap pengguna jasa rumah sakit tidak dapat direalisasikan tepat waktu atau bahkan terhenti di tengah jalan.
Pembahasan ini akan mengeksplorasi aspek-aspek praktis dalam perencanaan di rumah sakit yang dapat diimplementasikan, baik dalam penyusunan strategic planning maupun annual operating plan. Meskipun hampir seluruh rumah sakit telah memiliki rutinitas tahunan dalam menyusun dokumen perencanaan pada kenyataannya masih sering ditemukan kesenjangan (gap) yang cukup besar antara perencanaan, realisasi dan fakta kebutuhan di bidang pelayanan. Seluruh isi artikel merupakan hasil konsolidasi pengalaman Aortic Healthwork Indonesia dalam memberikan professional opinion terhadap berbagai dokumen perencanaan rumah sakit yang dimintakan untuk ditinjau (review) dan disusun berdasarkan temuan empiris dan analisis atas praktik perencanaan di rumah sakit dengan tujuan memberikan perspektif komprehensif mengenai tantangan dan peluang peningkatan kualitas proses perencanaan di rumah sakit.
Perencanaan Sebagai Fungsi Integrasi
Perencanaan merupakan alat bantu manajerial yang paling mendasar dalam pengelolaan rumah sakit. Perencanaan yang baik juga dapat berperan sebagai road map bagi manajemen dalam menentukan arah dan prioritas yang akan ditempuh dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Rumah sakit beroperasi dalam keterbatasan sumber daya dan tekanan yang tinggi untuk memberikan layanan yang berkualitas kepada publik sehingga tanpa perencanaan yang akomodatif, rumah sakit cenderung mengalami pemborosan sumber daya, ketidaksesuaian antara kebutuhan dan layanan yang disediakan, serta gagal dalam mencapai tujuan strategisnya. Oleh karena itu, kemampuan menyusun dan melaksanakan perencanaan yang efektif menjadi indikator penting keberhasilan manajemen rumah sakit baik rumah sakit publik maupun privat.
Secara teoretis, proses perencanaan mengikuti logika rational comprehensive model, yang terdiri atas beberapa tahapan mulai dari diagnosis, analisis, goal setting, formulasi, implementasi, serta monitoring dan evaluasi. Model ini menekankan pendekatan yang sekuensial dalam pengambilan keputusan. Namun dengan keragaman model operasi unit-unit di rumah sakit, diperlukan berbagai pendekatan perencanaan yang lebih fleksibel dan kontekstual agar setiap bagian organisasi dapat berkontribusi secara optimal terhadap tujuan strategis secara keseluruhan. Masing-masing unit memiliki pola kerja, sumber daya serta indikator kinerja yang spesifik, sehingga satu model perencanaan yang bersifat seragam tidak selalu dapat diterapkan secara efektif di seluruh lini organisasi.
Untuk beradaptasi dengan hal ini, perencanaan di rumah sakit harus mampu mengakomodasi keragaman operasional dengan tetap menjaga strategic coherence. Artinya, meskipun setiap unit memiliki otonomi dalam menyusun rencana kerjanya, seluruh rencana tersebut tetap harus terintegrasi dalam kerangka besar strategic plan rumah sakit.
Untuk merespon praktek perencanaan yang selama ini dilakukan oleh rumah sakit di Indonesia diperlukan pendekatan kontekstual dalam proses perencanaan, yaitu priority and participatory planning. Priority planning adalah pendekatan yang berfokus pada pemilihan program, kegiatan atau intervensi yang dianggap paling penting sesuai dengan skala operasi, organisasi dan ekspektasi eksternal.
Secara teoretis, priority planning berasal dari kerangka berpikir strategic management dan decision sciences yang menekankan pentingnya fokus organisasi pada area dengan nilai strategis tertinggi. Pendekatan ini digunakan untuk memastikan bahwa setiap keputusan investasi, program dan kegiatan diarahkan pada penciptaan strategic value tertinggi bagi organisasi dan para pemangku kepentingannya. Prinsip utamanya adalah bahwa organisasi tidak bisa melakukan semua hal sekaligus, sehingga pemilihan prioritas menjadi bagian dari proses rasionalisasi sumber daya dan diferensiasi strategis. Proses ini tidak hanya bersifat teknokratis, tetapi juga memerlukan managerial judgment untuk menyeimbangkan antara analisis kuantitatif dan intuisi strategis dalam menentukan arah tindakan. Dengan demikian, priority planning menempati posisi penting sebagai mekanisme penyelarasan antara visi jangka panjang, strategi korporat dan kapabilitas operasional organisasi.
Secara implementatif, penerapan priority planning di rumah sakit membutuhkan sistem manajemen yang berbasis pada data driven decision making dan performance orientation dengan terlebih dahulu menilai posisi strategis rumah sakit dan mengidentifikasi area di unit pelayanan di mana perubahan atau investasi akan memberikan dampak paling signifikan terhadap efektivitas organisasi dan pelayanan. Setelah area strategis teridentifikasi, manajemen perlu menyusun kerangka prioritas yang objektif. Dalam kerangka ini, prioritas tidak hanya diukur dari aspek finansial, tetapi juga dari kontribusinya terhadap strategic objectives seperti peningkatan mutu layanan, kepuasan pasien, efisiensi operasional serta persepsi internal dan eksternal. Dalam praktik manajerial, proses ini dilakukan melalui strategic prioritization workshop atau management review forum yang melibatkan pimpinan lintas unit, agar keputusan yang diambil mencerminkan keselarasan strategis dan dukungan kolektif organisasi. Tahapan berikutnya adalah formulasi strategic initiatives dan penyusunan implementation roadmap. Setiap inisiatif prioritas diterjemahkan ke dalam rencana key deliverables serta accountability matrix untuk memastikan tanggung jawab dan waktu pelaksanaan yang terukur.
Sementara itu, participatory planning menekankan keterlibatan aktif para pemangku kepentingan dalam proses perencanaan. Pendekatan ini menempatkan dokter, perawat, staf administrasi, pasien, serta masyarakat sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan perencanaan. Melalui partisipasi, rencana yang disusun menjadi lebih kontekstual dan memiliki legitimasi sosial yang kuat. Partisipasi juga meningkatkan sense of ownership terhadap hasil perencanaan, yang dapat memperkuat komitmen dalam implementasi. Dari sudut pandang manajemen perubahan, participatory planning juga memiliki fungsi strategis untuk membangun budaya organisasi yang kolaboratif. Dengan melibatkan berbagai profesi dan level manajerial dalam proses perencanaan, rumah sakit dapat mengurangi resistensi terhadap kebijakan baru dan mendorong rasa tanggung jawab kolektif dalam pelaksanaan program. Hal ini sangat relevan mengingat kompleksitas sistem rumah sakit yang melibatkan banyak disiplin dan struktur hierarki yang kerap kaku.
Penggunaan Delphi Technique
Dalam implementasi participatory planning, Delphi Technique menempati posisi yang sangat dapat diandalkan dan merepresentasikan partisipasi yang berbasis pengetahuan kolektif. Pendekatan ini memungkinkan rumah sakit mengakomodasi keragaman pandangan dari berbagai kelompok profesi dan unit fungsional tanpa mengorbankan rasionalitas proses pengambilan keputusan. Delphi Technique menggunakan collective intelligence yang menekankan bahwa kualitas keputusan meningkat seiring dengan kualitas dialog yang terjadi di dalam organisasi rumah sakit.
Proses Delphi dilakukan melalui serangkaian iterative rounds diawali dengan identifikasi isu atau area yang membutuhkan kesepakatan, misalnya prioritas pengembangan layanan unggulan, kebijakan investasi alat kesehatan atau arah pengembangan infrastruktur fisik. Para ahli dari berbagai bidang kemudian diminta memberikan pendapat secara independen, biasanya melalui kuesioner tertulis atau survei online tanpa saling mengetahui identitas satu sama lain untuk menghindari bias hierarkis. Hasil dari putaran pertama dikompilasi, dianalisis dan dirangkum secara anonim oleh fasilitator. Ringkasan ini kemudian dikembalikan kepada panel peserta untuk memberikan kesempatan meninjau kembali pendapat mereka berdasarkan hasil agregasi kolektif. Proses ini diulang beberapa kali hingga tercapai konvergensi pendapat atau tingkat kesepakatan yang dianggap memadai.
Dalam praktik perencanaan rumah sakit, Delphi Technique memperkuat pendekatan partisipatif dengan mengurangi dominasi pihak tertentu, terutama dalam organisasi yang masih memiliki hierarki kuat antara profesi medis dan manajerial. Karena seluruh masukan dikumpulkan secara anonim, proses partisipasi menjadi lebih egaliter dan objektif. Delphi juga mendorong refleksi dan pembelajaran kolektif, di mana setiap peserta memiliki kesempatan untuk meninjau kembali posisinya seiring dengan berkembangnya informasi. Teknik ini juga menghasilkan konsensus yang berbasis argumentasi rasional, bukan kompromi politik, karena fokusnya pada penyaringan ide secara sistematis. Agar proses Delphi berjalan efektif, diperlukan peran fasilitator independen yang memahami konteks organisasi sekaligus memiliki kemampuan analisis kebijakan. Fasilitator bertugas merancang pertanyaan, menjaga netralitas komunikasi, serta menganalisis hasil setiap putaran dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif.
Berbagai realitas seperti kualitas Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) yang menurun, kekosongan obat, gangguan sistem komputer, hingga kerusakan ambulans akibat tidak tersedianya suku cadang, tidak seharusnya terjadi dalam organisasi rumah sakit yang memiliki sistem perencanaan yang matang dan terintegrasi. Situasi-situasi tersebut pada dasarnya merupakan gejala dari lemahnya koordinasi, sinkronisasi dan prioritisasi dalam proses perencanaan. Dengan penerapan priority and participatory planning secara konsisten, masalah-masalah operasional semacam ini dapat diantisipasi sejak tahap perencanaan. Priority planning memastikan bahwa alokasi sumber daya diarahkan pada aspek-aspek krusial yang berhubungan langsung dengan kesinambungan pelayanan dan keselamatan pasien. Sementara participatory planning menjamin bahwa informasi dari lapangan, termasuk kondisi logistik, kebutuhan unit, serta potensi risiko operasional, dapat terakomodasi secara detail dalam dokumen rencana kerja dan anggaran.
Dengan demikian, penerapan priority and participatory planning akan meningkatkan ketahanan operasional (operational resilience) rumah sakit karena setiap keputusan yang diambil berakar pada kesadaran bersama tentang pentingnya mutu pelayanan, efisiensi dan kesinambungan operasional. Hasil akhirnya adalah rumah sakit yang lebih siap, stabil dan mampu memberikan pelayanan kesehatan tanpa terganggu oleh kendala-kendala yang seharusnya dapat dicegah melalui perencanaan yang cerdas dan kolaboratif.