Aortic Healthwork Indonesia > Practical Recommendation
Membangun Brand Trust Layanan Gizi Rumah Sakit dengan Strategi Komersial dan Neurosensori
Team : Aortic Healthwork Indonesia
Jumat, 25 Juli 2025
Team : Aortic Healthwork Indonesia
Jumat, 25 Juli 2025
Dalam pengelolaan bisnis dan operasional rumah sakit, hospital food and nutrition services atau layanan gizi rumah sakit kerap kali dianggap sebagai elemen pendukung yang non-vital. Padahal keberadaannya sangat penting, baik untuk pemulihan pasien, pencegahan malnutrisi dan bahkan sebagai wajah dari service taste rumah sakit. Sayangnya, pendekatan model layanan gizi rumah sakit selama ini masih bersifat normatif dan klinis serta belum menyentuh sisi value creation sebagaimana prinsip-prinsip komersial dari sebuah rumah sakit. Oleh karena itu sangat penting untuk menempatkan kembali hospital food and nutrition services dalam kerangka komersial yang sejajar dengan layanan utama rumah sakit lainnya.
Prinsip commercial health di rumah sakit sebagaimana dipopulerkan oleh Aortic Healthwork Group menegaskan bahwa setiap produk dan layanan yang diterima, dirasakan dan dibayar oleh pasien ataupun payor harus memenuhi unsur clinical operation yang praktis, patient experience yang positif, efisien dalam pemanfaatan resources, serta profit dalam setiap transaksi bisnisnya. Guna mencapai semua unsur tersebut, dibutuhkan integrasi antara creativity dan science sebagai modalitas untuk mencapai tujuan komersial layanan. Dalam prinsip commercial health konsep tersebut, sebuah layanan rumah sakit yang tergolong cost center harus mampu menghasilkan social profit yang menjadi added value bagi rumah sakit. Sebaliknya, untuk layanan yang merupakan profit center, maka semua unsur profit harus dicapai secara seimbang, baik dari sisi finansial, sosial, emosional, maupun relasional, dengan pengelolaan yang efisien dalam setiap elemen pembentuknya.
Salah satu penyebab lemahnya daya tarik komersial terhadap hospital food and nutrition services adalah karena belum dimilikinya trust dan pemahaman komersial terhadap added value dari layanan ini. Padahal, dari aspek hygiene dan food safety, hospital kitchen sudah seharusnya memenuhi standar yang jauh lebih tinggi dibanding hotel bintang lima. Dapur rumah sakit yang terakreditasi diwajibkan memenuhi standar food safety, cross contamination control, temperature monitoring, dan personal hygiene practices, sesuai dengan regulasi dalam akreditasi rumah sakit dan Permenkes No. 78 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit. Dengan standar tinggi tersebut, hospital food and nutrition services seharusnya menjadi sumber emotional security bagi pasien, keluarga dan konsumen bahwa makanan yang dikonsumsi benar-benar aman, bersih, enak dan terkendali secara nutrisi.
Namun, kepatuhan terhadap regulasi saja tidak cukup untuk membangun trust. Diperlukan pendekatan komersial dan science untuk dapat sampai pada level tersebut.
Sebagai ilustrasi, rumah sakit dapat secara sederhana menghitung berapa persen makanan pasien rawat inap yang benar-benar dikonsumsi habis. Banyak studi menunjukkan bahwa plate waste pasien rumah sakit dapat mencapai lebih dari 30%, tergantung pada kondisi penyakit dan tingkat appetite suppression (yang bisa terjadi akibat nyeri, infeksi, atau efek samping obat), serta rasa dan bentuk penyajian makanan itu sendiri. Jika nilai rupiah dari plate waste tersebut dikalkulasi, maka akan tampak inefisiensi besar yang terjadi akibat berbagai kendala mulai dari rasa, plating and visual packaging, nutritional delivery hingga sirkulasi menu yang tidak optimal. Kondisi ini semua mencerminkan adanya gap pada elemen neurosensory, baik yang disebabkan oleh kondisi medis pasien (perceptive neurosensory) maupun oleh desain layanan itu sendiri (stimulant neurosensory). Maka dari itu, hospital food and nutrition services harus dikembangkan tidak hanya dari sisi klinis, tetapi juga dari sisi pengalaman sensorik dan persepsi emosional pasien dan konsumen terhadap makanan.
Pasien bukan satu-satunya konsumen dari hospital food and nutrition services
Hospital food and nutrition services pda praktiknya melayani beragam kebutuhan in-house catering untuk staf jaga dan tenaga kesehatan serta menyediakan layanan katering luar rumah sakit baik untuk pasien aftercare maupun konsumen non-pasien. Dengan basis konsumen yang beragam ini, potensi komersial hospital food and nutrition services menjadi semakin luas. Dalam konteks tersebut, pendekatan neurosensory yang digunakan oleh Aortic Healthwork Indonesia menjadi sangat relevan. Trust terhadap hospital food and nutrition services harus dibangun dari empat dimensi utama, yakni sensoric experience, safety perception, quality consistency dan emotional association. Jika restoran dan hotel dapat menjadi simbol kualitas kuliner melalui plating, narasi sehat dan pengalaman emosional yang menyenangkan, maka rumah sakit pun perlu membangun ulang citra makanan yang mereka sajikan, agar tidak lagi diasosiasikan dengan makanan hambar, penyajian monoton dan kurangnya sentuhan appetite.
Untuk mencapai hal tersebut Aortic Healthwork Indonesia mengembangkan arah baru dari hospital food and nutrition services dengan pendekatan yang menyentuh empat area utama yaitu packaging development, taste development, nutritional development dan market development.
Packaging Development
Packaging makanan rumah sakit tidak dapat lagi dipandang hanya sebagai sebuah kemasan semata karena menjadi media pertama yang bersentuhan langsung dengan pengalaman sensorik pasien. Sayangnya, penggunaan nampan stainless dan tutup plastik transparan yang selama ini menjadi standar (meskipun steril dan efisien) belum dapat menyampaikan pesan estetika dan kepedulian rumah sakit terhadap appetite stimulus. Maka, pengembangan packaging perlu diposisikan sebagai bagian dari strategi komunikasi visual yang secara simultan membentuk perceived quality, trust dan bahkan service identity rumah sakit.
Dari sisi food branding, penggunaan elemen visual seperti logo, warna identitas serta penyisipan narasi pada label atau seal kemasan mampu merangsang respons emosional pasien secara positif. Misalnya, pemberian nama pada paket makanan dengan istilah yang menarik dan bersahabat dapat mempertegas bahwa makanan yang disajikan bukan menu daur ulang tetapi bagian dari stimulant yang bersifat personal dan memiliki fungsi teurapeutik.
Selain itu, plating dalam wadah juga memegang peranan penting dalam menciptakan stimulasi sensorik. Penataan makanan yang seimbang dalam hal warna, bentuk dan tekstur tidak hanya memperkuat persepsi rasa, tetapi juga meningkatkan kepuasan makan secara keseluruhan. Hal ini menjadi semakin penting pada kelompok pasien tertentu seperti pasien geriatri, pasien onkologi atau mereka yang menjalani pengobatan jangka panjang yang sering mengalami gangguan persepsi sensorik maupun penurunan nafsu makan (appetite suppression). Desain piring atau wadah makanan pun sebaiknya tidak diabaikan. Warna putih polos memang menjadi standar karena netral dan mudah dibersihkan, namun dalam kajian neurosensory perception, warna dan bentuk wadah terbukti dapat memengaruhi persepsi terhadap rasa, porsi dan rasa kenyang. Misalnya, piring berwarna lembut seperti hijau mint atau biru pastel dapat menciptakan efek menenangkan, sementara piring dengan tepi kontras bermanfaat untuk pasien dengan gangguan penglihatan atau fungsi kognitif, karena memudahkan mereka mengenali batas makanan. Rumah sakit bahkan dapat mengembangkan series piring tematik untuk segmen tertentu seperti piring bergambar edukatif untuk pasien anak atau desain ergonomis untuk pasien diet lunak.
Dalam konteks digitalisasi rumah sakit, aspek digital kini menjadi bagian tak terpisahkan dari pengalaman fisik pasien. Pengemasan makanan dapat diperkuat dengan digital display pada aplikasi pemesanan menu makanan yang terhubung yang juga dapat menampilkan informasi seputar menu, nilai gizi, sumber bahan makanan, hingga rekomendasi diet lanjutan setelah pasien pulang. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan transparansi layanan, tetapi juga membangun nutritional trust dan mendorong pasien untuk lebih memahami makanan mereka sebagai bagian dari co-managed care.
Elemen tambahan yang tak kalah penting adalah olfactory sealing, yaitu sistem kemasan yang didesain untuk menjaga aroma makanan tetap optimal hingga saat disajikan. Banyak pasien kehilangan selera makan karena aroma makanan telah menghilang sebelum makanan tiba di sisi tempat tidur. Penggunaan teknologi penutup kemasan yang dapat melepas aroma saat dibuka dapat menghadirkan kembali pengalaman aromatik yang kuat sebagai bagian dari first impression dalam membangun selera makan.
Taste Development
Dalam pengembangan hospital food and nutrition services, baik untuk pasien rawat inap maupun kebutuhan aftercare, pengembangan rasa bukanlah upaya untuk membuat makanan menjadi lebih enak, melainkan sebuah proses adaptive flavoring yang ilmiah, terukur, dan bersifat terapeutik. Konsep ini bertumpu pada kenyataan bahwa banyak pasien mengalami gangguan fungsi pengecapan dan penurunan nafsu makan akibat kondisi fisiologis seperti hiposmia (penurunan fungsi penciuman), disfagia (kesulitan menelan), hingga pembatasan diet karena penyakit metabolik.
Dari sudut pandang culinary arts, hal ini menuntut manajemen dari hospital food and nutrition services department, memiliki pemahaman dasar tentang fisiologi sensorik pasien dan mampu memformulasikan menu dengan komposisi rasa dan tekstur yang tidak hanya lezat, tetapi juga accessible, safe, dan medically compliant. Misalnya untuk pasien diabetes, penggunaan rempah alami dengan indeks glikemik rendah, seperti kayu manis, jahe, dan kunyit, dapat meningkatkan palatability tanpa menambah beban gula darah.
Selnjutnya pengembangan rasa juga harus berbasis consumer sensory behavior, namun tetap memenuhi prinsip dasar dietetik yang mencakup keseimbangan, keanekaragaman, dan kecukupan zat gizi. Di sinilah pendekatan interdisipliner menjadi sangat penting dimana ahli gizi menentukan parameter gizi dan batasan dietetik, dokter gizi klinis memetakan kondisi penyakit dan kemungkinan interaksi obat, sementara chef mengeksekusi menu dengan teknik olahan yang flavorful, aman, dan estetis. Misalnya, pada pasien dengan hiposmia, penggunaan teknik aromatic layering (menyusun profil aroma dalam makanan secara bertahap dari bahan segar seperti bumbu aromatik, hingga cara masak yang meningkatkan volatilitas aroma) dapat merangsang reseptor olfaktori yang masih aktif. Teknik ini menjadi dasar dari pendekatan multi sensory stimulation, yang terbukti dalam berbagai studi dapat meningkatkan food intake pada pasien geriatri dan kanker. Pemilihan teknik masak (cooking methods) juga berperan besar. Teknik seperti slow roasting, steam infusion, dan herb crusting tidak hanya menjaga nilai gizi, tapi juga menciptakan flavor complexity yang dibutuhkan oleh pasien dengan keterbatasan sensorik. Sehingga taste development di rumah sakit bukan lagi menjadi domain sekunder seperti saat ini, melainkan menjadi pengalaman makan yang menyenangkan dan memulihkan.
Nutritional development
Penyusunan makanan rumah sakit kini tidak cukup hanya berdasarkan klasifikasi dietetik umum seperti diet rendah garam atau diet DM 1800 kkal. Tantangan sebenarnya adalah bagaimana mengubah piring menjadi personalized prescription. Pendekatan ini dikenal sebagai nutritional development, yaitu upaya menyusun makanan secara individualized dan evidence based menggunakan data rekam medis, hasil laboratorium, observasi klinis dan bahkan riwayat preferensi makan pasien. Prinsip ini sejalan dengan kerangka continuity of care dan nutritional adequacy yang mempertimbangkan keseimbangan makro dan mikronutrien, bioavailabilitas serta adaptasi fisiologis pasien terhadap makanan tertentu. Ahli gizi harus mampu membaca ini melalui melalui indikator klinis dan biomarker dan menerjemahkannya menjadi rekomendasi gizi yang aplikatif dan realistis secara culinary. Sehingga seorang hospital chef tidak lagi hanya menjadi eksekutor resep, melainkan bagian dari tim klinis yang memahami kebutuhan individual pasien dan mampu menyulap angka-angka gizi menjadi makanan yang menjadi motivasi untuk sembuh dan tetap sehat.
Misalnya, jika seorang pasien gagal ginjal dengan status malnutrisi dan hiperkalemia juga mengalami depresi dan kehilangan nafsu makan, maka makanan yang dibuat tidak hanya harus rendah kalium dan tinggi energi, tapi juga memiliki visualisasi yang menarik dan familiar yang membangkitkan memori positif pasien terhadap makanan. Pendekatan ini disebut sebagai clinical gastronomic mapping, yaitu menyusun makanan dari input data klinis dan sensorik pasien ke dalam desain menu harian. Salah satu prinsip penting dalam bidang ilmu gizi adalah bahwa "tidak ada terapi gizi yang efektif tanpa keterlibatan pasien.” Maka dari itu, personalization berarti mengakomodasi preferensi budaya, agama, dan psikososial pasien, misalnya memperhatikan kebiasaan makan pasien lansia Jawa Tengah atau Yogyakarta yang cenderung menghindari makanan dingin atau tekstur keras. Di titik inilah pentingnya kolaborasi kuliner antara ahli gizi sebagai decision maker, dokter gizi klinis sebagai validator dan chef sebagai creative executor.
Market development
Dalam hospital food and nutrition services, market development merupakan upaya komersial untuk memperluas cakupan layanan gizi melampaui pasien rawat inap dengan menyasar kelompok keluarga pasien, pengunjung rumah sakit, tenaga medis dan kesehatan, serta masyarakat umum. Inisiatif ini dapat dilakukan melalui beragam channel distribusi seperti café, in-house catering, layanan katering keluarga pasien, serta subscription meal program yang berbasis bukti ilmiah dan prinsip dietetik. Pendekatan ini akan memiliki tiga implikasi klinis dan komersial.
Pertama, memperkuat dimensi continuum of care dengan menyediakan dukungan gizi berkelanjutan bagi pasien pasca-rawat inap (aftercare), misalnya pasien diabetes, hipertensi, dan penyakit ginjal kronis yang membutuhkan kontrol diet jangka panjang. Kedua, memperluas akses masyarakat terhadap makanan sehat yang terstandar, yang selama ini cenderung terbatas pada kelompok yang mampu atau memiliki akses ke layanan gizi klinis. Ketiga, mendiversifikasi sumber pendapatan rumah sakit sehingga meningkatkan resilience keuangan rumah sakit di sektor non-clinical revenue.
Dengan demikian, market development dalam layanan gizi rumah sakit bukan semata-mata hanya sebuah ekspansi layanan, melainkan bagian dari agenda yang menghubungkan dapur rumah sakit dengan konsumen dan menjadikan rumah sakit bukan hanya tempat pasien datang mencari kesembuhan tapi tempat keluarga dan publik memperoleh solusi gizi yang mudah, terpercaya dan berbasis bukti.