Aortic Healthwork Indonesia > Practical Recommendation
Mengatasi Knowledge Gap dalam Leadership Performance di Level Instalasi Rumah Sakit
Team : Aortic Healthwork Indonesia
Senin, 25 Agustus 2025
Team : Aortic Healthwork Indonesia
Senin, 25 Agustus 2025
Rumah sakit sering dianggap sebagai benteng terakhir dalam menjaga kehidupan manusia. Namun, ada sebuah celah yang jarang dibicarakan yaitu knowledge gap pada level kepemimpinan di instalasi layanan. Celah ini berkaitan dengan bagaimana manajer, kepala instalasi dan para koordinator memahami dan mengelola kompleksitas yang ada. Tanpa keberanian untuk menghadapi knowledge gap ini, pelayanan pasien berpotensi terjebak dalam pola konservatif yang tidak lagi relevan dengan kebutuhan zaman.
Yang pertama sering terlihat adalah keterbatasan management knowledge. Banyak pemimpin instalasi tumbuh dari dunia klinis atau keperawatan dengan basis keilmuan yang kuat, bahkan luar biasa. Mereka hafal algoritme tata laksana penyakit, menguasai teori terapi, paham standar akreditasi dan sangat percaya diri dalam kompetensi profesinya. Namun, begitu masuk ke arena manajerial, banyak di antara mereka menghadapi semacam “keterasingan.” Mereka seakan berada di panggung baru yang bahasanya berbeda, penuh istilah efficiency, resource allocation atau risk management, yang tidak pernah mereka pelajari secara mendalam dalam pendidikan formalnya.
Di sinilah lahir apa yang di sebut defisit managerial literacy. Alih-alih melihat rumah sakit sebagai organisasi yang memerlukan strategi jangka panjang, banyak pemimpin instalasi memandangnya sebagai case by case management. Masalah muncul, mereka padamkan seperti memadamkan api kecil, muncul lagi di tempat lain, mereka buru-buru memadamkan lagi. Siklusnya berulang tanpa henti. Energi habis untuk merespons, bukan merancang. Akibatnya, inovasi sering terhambat, sistem tidak pernah mature dan rumah sakit berjalan dengan pola coba-coba.
Contoh sederhana adalah dalam mengelola alur pasien. Banyak kepala instalasi tahu pasien harus ditangani cepat, tetapi sedikit yang punya kemampuan merancang patient flow yang efisien dari pendaftaran hingga keluar. Padahal, bottleneck sekecil apapun entah di ruang tunggu, proses laboratorium atau distribusi obat akan menciptakan efek domino yang berujung pada keluhan pasien. Dan apa yang terjadi? Solusi yang ditempuh sering hanya bersifat tambal sulam, menambah kursi tunggu, memperpanjang jam layanan atau menambah staf sementara. Semua langkah itu mahal, melelahkan dan jarang menyentuh akar masalah.
Demikian pula dalam desain organisasi. Banyak pemimpin instalasi melihat struktur rumah sakit hanya sebagai kotak-kotak dalam bagan. Mereka kurang memahami bahwa ada proses, otoritas, decision making flow dan budaya kerja yang perlu dirubah.
Yang paling krusial adalah manajemen risiko. Dalam pengelolaan klinis, risiko dapat diartikan sebagai komplikasi atau efek samping. Tetapi di dunia manajemen, risiko jauh lebih luas dari mulai keterlambatan klaim JKN, fluktuasi arus kas, sampai potensi tuntutan hukum akibat kesalahan komunikasi. Banyak pemimpin instalasi tidak punya peta risiko yang jelas. Akibatnya, mereka baru bergerak setelah krisis terjadi. Tidak ada scenario planning, tidak ada cadangan sumber daya, tidak ada mitigasi yang dipersiapkan. Semua baru dikerjakan dalam keadaan panik.
Lapis berikutnya adalah behavioral knowledge. Di sini letak seni sejati kepemimpinan di rumah sakit. Kepemimpinan adalah seni bagaimana rencana diterjemahkan dalam perilaku sehari-hari dan apakah tim mau ikut serta dengan sukarela atau sekadar menjalankan perintah karena takut. Sayangnya, banyak kepala instalasi mengira bahwa kepemimpinan berhenti di titik “memberi instruksi.” Mereka lupa bahwa manusia tidak sama dengan mesin yang bisa bekerja hanya dengan tombol on dan off. Dokter, perawat dan staf adalah individu yang punya ego, emosi, rasa lelah bahkan luka batin. Mereka bisa sangat patuh di depan, tetapi menyimpan resistensi di belakang. Instruksi yang modern tentang digitalisasi, efisiensi atau standar akreditasi terbaru bisa runtuh hanya karena komunikasi yang dingin, sikap yang arogan atau karena pemimpin tidak memberi ruang untuk mendengar aspirasi timnya.
Sikap empati sering kali dianggap remeh, padahal di rumah sakit, empati adalah mata uang kepemimpinan yang paling mahal. Ketika seorang kepala instalasi bisa benar-benar mendengar keluhan perawat tentang beban kerja atau memahami keresahan dokter tentang jadwal yang tidak manusiawi, ia tidak hanya menyelesaikan masalah, tetapi juga membangun kepercayaan. Dari kepercayaan itulah muncul komitmen dan dari komitmen lahirlah energi kolektif untuk bekerja melampaui target.
Sebaliknya, bila komunikasi hanya satu arah, tim akan merasa “tidak dianggap.” Mereka mungkin tidak menolak secara frontal tetapi resistensi dalam diam mulai tumbuh. Mereka hadir, tetapi tidak sepenuh hati. Mereka bekerja, tetapi tanpa gairah. Konflik laten antarprofesi antara senior dan junior atau antara tenaga medis dan administrasi bisa semakin menajam. Akhirnya, rumah sakit tidak lagi berjalan sebagai sebuah living system yang dinamis, melainkan menjadi organisasi yang penuh bisu, kaku dan rawan pecah sewaktu-waktu.
Di banyak organisasi besar, termasuk rumah sakit, yang sering menghancurkan bukanlah badai besar dari luar, melainkan erosi kecil dari dalam. Suasana kerja yang penuh kecurigaan dan ketidakpercayaan terhadap pemimpin adalah racun yang pelan-pelan mematikan. Itulah mengapa behavioral knowledge lebih menentukan daripada sekadar kecakapan teknis.Pemimpin dengan behavioral knowledge yang matang tidak hanya mengandalkan position power, tetapi membangun personal power.
Lalu ada data knowledge. Hari ini rumah sakit ibarat samudera data yang terus bergelombang. Setiap tindakan medis menghasilkan jejak digital dalam electronic medical record (EMR), setiap proses pelayanan terekam dalam dashboard operasional, setiap transaksi keuangan tercatat dalam sistem akuntansi bahkan setiap keluhan pasien di media sosial bisa berubah menjadi real time feedback yang menentukan reputasi rumah sakit. Masalahnya, banyak pemimpin instalasi masih memperlakukan data sebagai urusan administratif belaka. Padahal, data adalah “kompas” yang menentukan arah. Tanpa kemampuan membaca data, pemimpin hanya mengandalkan intuisi, pengalaman masa lalu atau kata orang. Ini sama saja seperti mengemudikan kapal besar di tengah badai tanpa radar, hanya berbekal perasaan. Tidak heran bila banyak keputusan di rumah sakit terasa tambal sulam, penuh trial and error dan sering kali datang terlambat.
Ambil contoh angka bed occupancy rate (BOR). Angka ini seharusnya menjadi alarm dini, bila terlalu tinggi, maka risiko penurunan kualitas layanan meningkat, bila terlalu rendah, rumah sakit merugi. Namun, banyak kepala instalasi hanya melihat BOR sebagai laporan bulanan yang dipresentasikan sekilas, tanpa ditafsirkan lebih jauh. Padahal, dengan membaca pola BOR harian dan menghubungkannya dengan pola masuk IGD, tren penyakit musiman atau jadwal cuti staf, pemimpin bisa membuat predictive scheduling yang jauh lebih akurat.
Demikian juga dengan data finansial. Banyak pemimpin instalasi merasa cukup bila pemasukan lebih besar dari pengeluaran. Tetapi rumah sakit membutuhkan analisis yang lebih tajam, apakah arus kas sehat? Bagaimana pola klaim JKN yang tertunda memengaruhi keberlangsungan operasional? Unit mana yang menyedot biaya terlalu besar dibandingkan pendapatan? Tanpa data literacy, semua itu tak lebih dari tumpukan angka yang membingungkan.
Yang lebih serius lagi adalah ketika pemimpin instalasi tidak mampu menghubungkan data lintas bidang. Misalnya, angka average length of stay (ALOS) sering dibaca sekadar durasi rawat inap. Padahal, jika ditautkan dengan data kepuasan pasien, beban perawat dan efisiensi farmasi, ALOS bisa menjadi indikator utama untuk menilai apakah sebuah instalasi sudah berjalan efektif atau tidak. Keterbatasan data knowledge ini sering membuat rumah sakit gagal mengantisipasi perubahan. Mereka hanya bereaksi setelah masalah membesar, klaim JKN menumpuk, pasien mengeluh di media sosial atau perawat melakukan protes diam-diam karena beban kerja melonjak. Semua ini sebenarnya bisa dideteksi lebih awal bila data dibaca dengan benar.
Dan akhirnya, cultural knowledge. Rumah sakit sejatinya adalah miniatur masyarakat, sebuah ruang di mana generasi, profesi dan latar belakang sosial bertemu, saling bersinggungan, bahkan saling menguji. Di satu sisi ada dokter senior yang tumbuh dengan tradisi hierarki dan cara kerja lama, yang memandang status dan senioritas sebagai pilar otoritas. Di sisi lain, muncul perawat dan dokter muda yang dibesarkan dalam budaya digital, lebih egaliter, cepat gelisah bila proses terasa lamban dan menginginkan transparansi dalam pengambilan keputusan. Di antara keduanya, hadir pasien dengan ragam nilai sosial, mulai dari masyarakat urban kelas menengah yang menuntut layanan cepat, hingga pasien dari daerah yang masih menekankan kepatuhan dan rasa hormat. Lalu, semua ini dibalut oleh regulasi yang sering kali lebih rumit daripada praktik klinis itu sendiri.
Pemimpin yang miskin cultural knowledge akan mudah tersandung. Mereka sering menganggap logika manajemen cukup untuk menggerakkan organisasi. Padahal, strategi yang paling canggih sekalipun bisa runtuh bila menabrak nilai-nilai budaya yang tidak tertulis. Misalnya, kebijakan shift management yang di atas kertas terlihat efisien bisa mendapat perlawanan senyap dari perawat jika tidak menghormati kebiasaan yang sudah puluhan tahun hidup di unit kerja. Atau program digitalisasi yang ideal secara manajerial bisa gagal total hanya karena dokter senior menolak menggunakan sistem baru yang dianggap mengurangi otonomi klinisnya.
Kultur bekerja seperti arus bawah laut, tidak terlihat tetapi mampu menggeser arah kapal besar tanpa disadari. Di rumah sakit, kultur kadang lebih kuat dari aturan tertulis. Ada “aturan diam-diam” tentang siapa yang berhak bicara lebih dulu, siapa yang harus dihormati meski tidak kompeten dan bagaimana cara menyampaikan pendapat agar tidak dianggap melawan. Pemimpin yang tidak peka akan salah membaca situasi, salah memilih kata dan akhirnya kehilangan legitimasi di mata tim.
Di sinilah pentingnya cultural intelligence. Pemimpin rumah sakit harus mampu membaca simbol, bahasa tubuh dan kode-kode sosial yang hidup di organisasinya. Ia harus bisa menyeberangkan nilai lama dengan nilai baru, menjaga harmoni antarprofesi, sekaligus memastikan bahwa kultur tidak menjadi penghalang perubahan, melainkan energi yang menguatkan transformasi. Pemimpin dengan cultural knowledge tahu kapan harus mendorong, kapan harus menahan dan kapan harus bernegosiasi.
Ketika seorang kepala instalasi mampu merawat kultur dengan bijak, rumah sakit berubah menjadi organisasi yang hidup. Regulasi tidak lagi dipandang sebagai belenggu, melainkan kerangka untuk bergerak lebih sistematis. Pasien dari berbagai latar belakang merasa dihargai karena rumah sakit mampu menyesuaikan diri dengan bahasa sosial mereka. Sebaliknya, bila cultural knowledge diabaikan, rumah sakit akan menjadi arena konflik laten. Senior dan junior saling menjauh, dokter dan manajemen saling curiga. Inilah yang sering di sebut sebagai seni kepemimpinan tingkat tinggi. Di dunia bisnis, kita mengenal istilah corporate culture. Di rumah sakit, kultur lebih kompleks, lebih cair dan lebih sensitif, karena menyangkut hidup mati manusia. Pemimpin yang sukses bukanlah mereka yang sekadar rasional dan logis, melainkan yang mampu merangkul nilai-nilai yang ada, menyuntikkan semangat baru dan menjahit harmoni dalam keragaman.