Aortic Healthwork Indonesia > Practical Recommendation
Harmonisasi Konsep In-House dan Out of Hospital Branding Dalam Sebuah Hospital Brand Communication Project
Team : Aortic Healthwork Indonesia
Sabtu, 03 Januari 2025
Team : Aortic Healthwork Indonesia
Sabtu, 03 Januari 2025
Dominasi media sosial sebagai medium utama komunikasi publik mengakibatkan rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan menghadapi tantangan ganda yaitu bagaimana mempertahankan integritas profesional sekaligus menjangkau publik dengan pendekatan yang komunikatif dan etis. Meskipun media sosial telah menjadi ruang yang menjanjikan untuk komunikasi brand, etika dan regulasi komunikasi kesehatan tetap menjadi batas fundamental yang tidak bisa diabaikan. Namun, batasan ini bukanlah tembok pembatas kreativitas, melainkan bingkai normatif yang mengarahkan rumah sakit untuk menjalankan strategi komunikasi yang bertanggung jawab, humanis dan efektif.
Media sosial telah berevolusi dari platform berbagi informasi menjadi ruang interaksi dan partisipasi publik. Dalam industri rumah sakit, transformasi ini menuntut pendekatan baru dari one way communication menjadi ruang dialog, pertukaran pengetahuan dan pengalaman. Strategi komunikasi digital rumah sakit perlu direkonstruksi ke arah komunikasi relasional, di mana kehadiran emosional menjadi orientasi utama. Sebagai contoh, penggunaan fitur live, story dan komentar dapat dikembangkan untuk membangun komunitas pasien berdasarkan kelompok penyakit atau pengalaman serupa. Praktik ini tidak hanya memperkuat rasa kepemilikan komunitas terhadap rumah sakit, tetapi juga menumbuhkan experiential trust. Kita telah melihat tumbuh suburnya komunitas-komunitas pasien yang hadir karena inisiatif bersama. Rumah sakit yang berhasil menyusun komunikasi relasionalnya akan dilihat sebagai institusi yang hadir secara autentik dan relevan dalam kehidupan masyarakat.
Namun demikian, media sosial bukanlah satu-satunya kanal komunikasi. Dalam omnichannel communication, penting untuk mengintegrasikan berbagai platform komunikasi, mulai dari email, call center, hingga aplikasi mobile, untuk memastikan aksesibilitas dan konsistensi digital patient experience. Media sosial berfungsi sebagai interaction hub yang menyatukan berbagai saluran dan menjaga kontinuitas relasi antara pasien dan institusi. Selain itu rumah sakit harus menghindari jebakan performativitas sesaat melalui viralitas yang kerap mengedepankan sensasi. Komunikasi yang menjual emosi tanpa nilai bisa mengikis martabat institusi dan profesi kesehatan. Oleh karena itu, strategi konten rumah sakit harus berakar pada nilai integritas, yaitu komunikasi yang menyentuh, otentik dan konsisten dengan ruang lingkup pelayanan rumah sakit. Narasi tentang proses penyembuhan, perjuangan pasien atau kisah kebersamaan dalam komunitas menjadi sumber konten yang lebih bermakna dibandingkan sekadar mengikuti tren dan viralitas. Di sinilah peran strategic narrative menjadi kunci dalam membangun citra brand rumah sakit yang relevan walaupun itu belum tentu menciptakan traffic kunjungan.
Konsep in-house branding merupakan pendekatan komunikasi internal yang berorientasi pada pemaknaan ulang ruang, relasi dan pengalaman di dalam rumah sakit sebagai medium komunikasi brand. Dalam perspektif komunikasi korporat, setiap elemen fisik dan relasional di lingkungan internal adalah bentuk symbolic communication tentang nilai-nilai institusi. Pemanfaatan ruang seperti area parkir untuk menyampaikan pesan-pesan edukatif atau instalasi digital interaktif bukan semata upaya estetika, melainkan sebuah performative space yang memungkinkan publik merasakan identitas rumah sakit secara langsung. Pelibatan teknologi seperti touchscreen, layar interaktif atau gimmick visual memperkaya experiential branding di lingkungan rumah sakit tanpa menambah beban staf medis. Selain itu, ruang-ruang multifungsi seperti auditorium, ruang tunggu dan ruang pertemuan dapat direposisi sebagai ruang edukasi yang terbuka sepanjang waktu. Ini sejalan dengan pendekatan edu-tainment branding, di mana interaksi antara ruang, informasi dan partisipasi publik menciptakan kesan rumah sakit sebagai institusi yang mendidik, bukan sekadar menyembuhkan.
Aspek paling krusial dari in-house branding terletak pada kualitas komunikasi interpersonal. Komunikasi yang solutif, partisipatif dan memperhatikan dimensi personal pasien merupakan titik temu antara pelayanan dan representasi nilai brand rumah sakit. Praktik seperti menggali preferensi pasien termasuk hobi dan nilai kehidupan mereka adalah bentuk komunikasi terapeutik yang memberi makna dan pengalaman emosional. Di sinilah konsep emotional labor dalam komunikasi rumah sakit menemukan relevansinya yaitu ketika staf menjadi perpanjangan tangan brand rumah sakit yang hidup.
Out of Hospital Services (OOHOS) adalah perluasan konsep komunikasi brand rumah sakit di luar wilayah institusional, di mana manusia menjadi media utama. Dalam teori komunikasi publik, OOHOS merupakan bentuk dari human channel strategy yang berfokus pada nilai relasi, pengalaman sosial dan partisipasi kolektif. Pelibatan dokter, perawat, pasien dan komunitas dalam berbagai event komunitas adalah bentuk nyata dari community engaged branding. Kegiatan ini bukan semata aktivitas CSR, melainkan harus menjadi strategi komunikasi yang mengafirmasi kehadiran rumah sakit dalam jaringan sosial masyarakat. Event sederhana seperti fun walk, charity hingga high level event seperti dan kolaborasi dengan industri teknologi, makanan atau olahraga juga membuka peluang komunikasi industrial. Dalam pendekatan cross sector health communication, kerja sama ini memperluas jangkauan pesan kesehatan ke segmen yang mungkin tidak terjangkau oleh channel formal institusi. Misalnya, kampanye gaya hidup sehat bersama brand minuman sehat dapat menjangkau konsumen muda, sedangkan aplikasi digital hasil kolaborasi dengan perusahaan teknologi menciptakan brand extension yang inovatif.
Penting untuk ditegaskan bahwa rumah sakit bukanlah entitas yang bebas nilai. Sebagai institusi pelayanan publik dengan mandat etik, komunikasi rumah sakit harus mempertahankan standar profesionalitas dan integritas dalam setiap bentuk ekspresinya. Keinginan untuk tampil viral atau populer harus dikritisi secara etis agar tidak menurunkan martabat profesi dan mencederai kepercayaan publik. Rumah sakit memang dapat mengadopsi strategi komunikasi yang ringan, ramah dan bahkan menghibur, namun harus selalu berada dalam kerangka tanggung jawab sosial health communication. Jika komunikasi rumah sakit tidak dijaga dengan kehati-hatian, maka industri kesehatan bisa kehilangan otoritas simboliknya di mata masyarakat dan menjadi objek komodifikasi semata.
Ada garis etis yang membedakan antara engaging dan cheap, antara relatable dan gimmicky.