Aortic Healthwork Indonesia > Practical Recommendation
Blueprint Menuju Aging Friendly Hospital
Team : Aortic Healthwork Indonesia
Kamis, 13 November 2025
Team : Aortic Healthwork Indonesia
Kamis, 13 November 2025
Pertumbuhan populasi lansia membawa tantangan baru bagi rumah sakit. Selain tingginya ketergantungan lansia pada layanan multispesialistik, sebagian besar fasilitas alur pelayanan dan manajemen klinis di rumah sakit masih dirancang untuk pasien dewasa dan anak pada umumnya. Padahal, kebutuhan lansia sangat berbeda, baik dari aspek klinis, psikososial maupun fungsional, mulai dari penurunan fungsi kognitif, tingginya risiko jatuh, gangguan penglihatan dan pendengaran, praktik polifarmaka hingga kerentanan emosional yang membutuhkan pendekatan lebih sensitif dan komprehensif.
Konsep Aging Friendly Hospital adalah sebuah bentuk adaptasi rumah sakit dalam menghadapi perubahan demografi ini. Konsep ini menuntut perubahan cara berpikir, perancangan fasilitas, serta pola pelayanan agar sesuai dengan karakteristik pasien lanjut usia.
Pasien lansia tidak bisa diperlakukan dengan pendekatan klinis yang sama seperti pasien dewasa. Mereka datang dengan penyakit kronis, sindrom geriatri dan penurunan cadangan fisiologis. Kombinasi ini membuat mereka lebih rentan terhadap komplikasi penyakit, efek samping obat, hingga kegagalan fungsional.
Salah satu persoalan terbesar adalah polifarmaka. Tanpa mekanisme deprescribing yang baik, risiko interaksi obat dapat meningkat tajam dan memicu gangguan hemodinamik hingga resiko jatuh. Deprescribing pada pasien lansia merupakan rangkaian langkah terstruktur dan dimulai dengan melakukan medication inventory termasuk obat resep dari berbagai dokter, obat bebas, suplemen, hingga obat yang hanya digunakan sesekali. Inventarisasi idealnya melalui pendekatan brown bag review dan verifikasi bersama keluarga untuk memastikan tidak ada obat yang terlewat atau tumpang tindih. Setelah daftar obat lengkap diperoleh, tahap berikutnya adalah telaah rinci terhadap setiap obat menggunakan kriteria untuk memastikan apakah indikasinya masih sesuai, menilai keseimbangan manfaat dan risiko hingga memeriksa panduan dengan Beers Criteria atau STOPP/START.
Dari hasil evaluasi tersebut, obat-obatan yang menjadi kandidat deprescribing kemudian diprioritaskan. Prioritas biasanya diberikan pada obat yang berisiko tinggi menyebabkan hipotensi atau tidak lagi memiliki manfaat klinis pada kondisi pasien saat ini. Proses deprescribing harus dilandasi rencana yang jelas untuk tiap obat, apakah perlu dihentikan langsung atau harus diturunkan bertahap (tapering), lengkap dengan durasi, skema penurunan dosis dan parameter klinis yang harus dipantau. Seluruh rencana ini harus terdokumentasi dengan baik. Komunikasi yang baik dengan pasien dan keluarga menjadi bagian krusial dalam proses deprescribing. Penjelasan harus diberikan secara terbuka mengenai alasan penghentian obat, manfaat yang diharapkan, potensi risiko, serta langkah pemantauan. Komunikasi yang transparan dapat meningkatkan penerimaan pasien serta mengurangi kekhawatiran.
Untuk memastikan proses deprescribing berjalan konsisten, rumah sakit perlu mengintegrasikannya ke dalam sistem manajemen klinis melalui template atau order set khusus pasien lansia dalam sistem rekam medis elektronik, checklist discharge yang mewajibkan evaluasi polifarmaka, serta pembahasan rutin dalam tim multidisiplin antara dokter, farmasis dan perawat. Deprescribing juga perlu didukung oleh kebijakan institusi, misalnya mewajibkan medication review dalam 48 jam pertama bagi pasien berusia di atas 75 tahun dengan penggunaan lima obat atau lebih.
Aspek Psikososial
Aspek psikososial pada pasien lansia sering kali menjadi akar dari berbagai masalah klinis yang tampak secara fisik, namun sesungguhnya dipicu oleh kondisi emosional dan sosial yang rapuh. Banyak pasien lansia memasuki rumah sakit dalam keadaan cemas terlebih ketika mereka menghadapi situasi yang asing, hiruk-pikuk, serta tahapan layanan yang panjang. Bagi sebagian lansia, rumah sakit juga menghadirkan rasa terisolasi, keterbatasan dukungan keluarga, perubahan peran sosial atau pengalaman ditinggalkan membuat mereka lebih rentan terhadap stres psikologis. Kondisi ini sering kali memperburuk gejala fisik, mengganggu pola tidur, menurunkan nafsu makan, hingga memicu delirium, terutama pada lansia dengan gangguan kognitif atau demensia.
Di lingkungan rumah sakit, interaksi antara staf dan pasien lansia menjadi faktor penentu utama kualitas pengalaman mereka. Komunikasi yang terlalu cepat dan instruksi yang tidak disesuaikan dengan kemampuan pemahaman pasien dapat menciptakan rasa kebingungan dan ketidakamanan. Lansia membutuhkan gaya komunikasi yang lebih perlahan dan penuh tuntunan. Mereka merespons lebih baik terhadap penjelasan sederhana, kontak mata yang konsisten, serta nada suara yang menenangkan. Hal ini merupakan bentuk intervensi psikososial yang berdampak langsung pada stabilitas kognitif dan emosional pasien.
Lingkungan fisik juga memainkan peran penting. Ruang yang terlalu bising, cahaya yang menyilaukan, atau aktivitas staf yang tergesa-gesa dapat menyebabkan disorientasi karena lansia pada umumnya sangat sensitif terhadap gangguan lingkungan, sehingga desain operasional rumah sakit harus mempertimbangkan faktor sensorik dan emosional ini. Kehadiran pendamping keluarga atau care partner terbukti menjadi intervensi psikososial yang sangat efektif. Keluarga membantu menjembatani komunikasi klinis, mengingatkan hal-hal penting, hingga memberikan dukungan emosional yang tidak dapat digantikan staf rumah sakit. Keberadaan care partner akan meningkatkan kepatuhan pasien terhadap terapi dan mempercepat pemulihan. Rumah sakit yang secara sistematis mempersiapkan peran care partner sebagai bagian dari tim perawatan biasanya menunjukkan angka readmisi yang lebih rendah dan outcome klinis yang lebih baik. Sayangnya, jika faktor psikososial ini diabaikan, seluruh proses perawatan dapat terganggu. Lansia yang cemas dan disorientasi cenderung lebih sulit mengikuti instruksi medis, lebih sering menolak makan atau obat dan lebih mudah mengalami agitas atau kebingungan. Akibatnya, beban operasional rumah sakit meningkat karena frekuensi kontrol bertambah dan lama rawat jadi lebih panjang.
Aspek Fungsional
Aspek fungsional merupakan salah satu determinan terpenting dalam keberhasilan perawatan lansia di rumah sakit, namun ironisnya justru paling sering terabaikan dalam praktik sehari-hari. Bagi pasien lanjut usia, kemampuan berjalan, duduk, makan sendiri, menggunakan toilet atau melakukan aktivitas dasar lainnya sering menjadi indikator kesehatan yang lebih bermakna daripada hasil laboratorium yang stabil. Ketika rumah sakit terlalu fokus pada parameter klinis dan laboratoris semata, risiko deconditioning (suatu kondisi di mana kemampuan fungsional menurun dengan cepat akibat imobilisasi, tirah baring berkepanjangan, atau kurangnya aktivitas tubuh selama perawatan) akan meningkat.
Dampak deconditioning ini sangat signifikan. Penurunan massa otot dapat terjadi hanya dalam 48–72 jam, terutama pada pasien yang sudah memiliki cadangan fisiologis yang rendah. Hasilnya adalah kelemahan otot berat, hilangnya keseimbangan, peningkatan risiko jatuh, hingga ketergantungan jangka panjang setelah pulang. Banyak lansia yang sebelumnya hidup mandiri akhirnya membutuhkan bantuan penuh hanya karena mereka terlalu banyak di tempat tidur selama dirawat. Konsekuensi ini tidak hanya merugikan pasien, tetapi juga meningkatkan beban keluarga, biaya rehabilitasi serta lama rawat yang lebih panjang bagi rumah sakit.
Di sinilah peran rumah sakit menjadi krusial. Institusi tidak bisa hanya berharap tenaga kesehatan untuk tetap menggerakkan pasien namun sistem layanan wajib dibangun untuk memastikan mobilisasi dini menjadi standar. Sehingga rumah sakit harus menetapkan protokol mobilisasi terstruktur sejak hari pertama pasien masuk, bekerja sama dengan fisioterapis untuk rutin melakukan penilaian fungsional dan menetapkan target harian yang realistis seperti duduk di kursi, berjalan ke kamar mandi, atau latihan rentang gerak. Penilaian fungsional harian harus menjadi bagian yang sama pentingnya dengan memantau tanda vital atau pemeriksaan laboratorium.
Selain itu, desain fasilitas rumah sakit harus mendukung aktivitas fungsional. Ruang rawat dengan area gerak cukup, kursi yang kokoh, alat bantu jalan yang mudah diakses, serta koridor yang aman adalah bagian dari intervensi fungsional. Pada level sistem, rumah sakit harus mengintegrasikan indikator fungsional ke dalam penilaian mutu pelayanan. Misalnya, persentase pasien lansia yang mengalami penurunan fungsi selama dirawat, tingkat keberhasilan mobilisasi dini, serta jumlah pasien yang pulang dalam kondisi lebih mandiri dibanding saat masuk. Dengan memperlakukan fungsi sebagai clinical outcome utama, rumah sakit dapat mendorong budaya pelayanan yang tidak hanya menyembuhkan penyakit, tetapi menjaga kualitas hidup.
Intinya, bagi segmen lansia, kemampuan mempertahankan kemandirian adalah bentuk terapi paling efektif dan bermakna. Dan memastikan hal itu terjadi bukan hanya tanggung jawab klinisi secara individual melainkan kewajiban sistem rumah sakit secara keseluruhan.
Konsep Aging Friendly Hospital akan menggeser fokus rumah sakit dari mengobati penyakit menjadi merawat lansia secara utuh. Ketika rumah sakit mampu mengintegrasikan ketiga aspek (klinis, psikososial dan fungsional) ke dalam seluruh proses operasionalnya, maka konsep Aging Friendly Hospital akan menjadi sebuah identitas dari brand rumah sakit itu sendiri.